Friday, April 25, 2008

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kabinet Indonesia Bersatu di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sri Mulyani Indrawati[1], pernah menyatakan bawah optimalisasi penyelenggaraan fungsi perencanaan nasional dan fungsi penganggaran sangat diperlukan demi terwujudnya visi, misi, dan program-program pemerintah untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita nasional sebagaimana diamanatkan dalam Mukadimah UUD 1945.[2] Sri Mulyani mengajukan tiga alasan.

Pertama, bagi negara sebesar seperti Indonesia baik dalam cakupan geografis maupun dalam jumlah dan ragam populasi, upaya dan proses pembangunan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyatnya pasti menghadapi berbagai permasalahan dan kendala yang kompleks.
[3] Pentingnya peranan perencanaan pembangunan dan lembaga perencana menjadi bagian yang tidak terhindarkan, sebagai suatu kebutuhan untuk menyusun rancangan kebijakan, program, dan kegiatan yang akan secara konsisten menuju pada cita-cita yang disepakati. Fungsi perencanaan diperlukan untuk menjelaskan dan memberikan mekanisme pengambilan keputusan yang rasional dan bertanggungjawab atas berbagai pilihan-pilihan terutama yang bersifat trade-off[4] dari kebijakan dan strategi pembangunan yang tidak selalu mudah dan menyenangkan.

Kedua, perencanaan pembangunan, baik dalam bentuk program, kebijakan maupun kegiatan hanya akan tinggal sebagai dokumen sia-sia dan tidak akan berarti apa-apa jika tidak dikaitkan dengan pembiayaannya. Di sisi lain, keterbatasan anggaran semakin menuntut adanya perencanaan yang matang agar pemanfaatan sumberdaya yang tersedia benar-benar dilakukan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu hubungan fungsi perencanaan dan fungsi penganggaran adalah semakin penting.

Ketiga, perubahan dan pembaharuan dalam pengelolaan keuangan dan sistem perencanaan pembangunan nasional semakin diperlukan dan harus menjadi sinergi dalam tatatan perundangundangan dan peraturan penjelasnya. Oleh karena itu, harmonisasi antara kedua fungsi itu telah dibakukan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang kemudian diikuti oleh penjelasan lebih lanjut dalam PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga. Selain itu terdapat pula undang-undang lain yang merupakan produk reformasi, yang dapat menjadi pertimbangan dalam proses perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan di daerah, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal-hal terpenting dari reformasi pengelolaan keuangan negara ini tentu saja adalah perubahan-perubahan yang meliputi penganggaran, yang tadinya memisahkan rutin –pembangunan menjadi anggaran yang terpadu (unified budget); penyusunan program dengan orientasi kinerja lembaga (performance based budgeting), yaitu berdasarkan fungsi dan subfungsi dari masing-masing lembaga; serta kerangka pengeluaran jangka menengah (Medium-Term Expenditure Framework) berupa perkiraan-perkiraan pembiayaan tiga tahunan ke depan.
[5]

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah harmonisasi dan sinergi antara fungsi perencanaan dan fungsi penganggaran itu telah dapat menjamin tercapainya tujuan perencanaan pembangunan? Pertanyaan menjadi mengemuka ketika teori perencanaan pembangunan dan teori penganggaran pembangunan dihadapkan pada dua konsep yang berbeda, yaitu konsep administrasi pembangunan dan konsep manajemen pembangunan. Konsep administrasi pembangunan merupakan pengembangan dari konsep administrasi negara yang diterapkan ke dalam pengelolaan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah.
[6] Sementara itu konsep manajemen pembangunan merupakan pengembangan dari konsep manajemen yang diterapkan dalam pengelolaan pembangunan.[7] Pembangunan sendiri didefinisikan sebagai proses multidimensi yang meliputi perubahan organsiasi dan orientasi dari seluruh sistem sosial dan ekonomi[8].

Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa administrasi negara sendiri sebenarnya adalah bagian dari proses politik dimana administrasi dalam pemerintahan berhubungan dengan kehendak golongan/partai-partai politik dan dengan program-program politiknya, dan ikutserta menentukan metode-metodenya bagaimana kebijaksanaan negara dapat diselenggarakan. Proses administrasi merupakan bagian yang integral dari proses politik suatu bangsa.
[9] Proses politik di dalamnya mencakup pengambilan keputusan.[10] Perencanaan merupakan upaya pengambilan keputusan secara rasional. Perencanaan merupakan bagian dari pelaksanaan kekuasaan politik dan juga merupakan bagian dari penyelenggaraan negara, karena berdasarkan konsep administrasi negara, administrasi negara adalah semua kegiatan negara dengan maksud untuk menunaikan dan melaksanakan kebijaksanaan negara.[11] Dengan demikian, perencanaan merupakan arena bagi negara dalam melaksanakan kekuasaan politiknya, karena dalam perencanaan terkandung proses pengambilan keputusan. Dalam arti lain yang lebih sempit, perencanaan merupakan salah satu kegiatan dari lembaga eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga perencanaan dapat dikatakan sebagai domain tugas dari lembaga legislatif –sebagai salah satu elemen penyelenggara negara-- maupun lembaga eksekutif.[12]

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa perencanaan pembangunan berdasarkan konsep administrasi pembangunan menitikberatkan pada proses politik, dan khususnya pada proses perumusan kebijaksanaan dan penyusunan instrumen untuk mengarahkan dan melaksanakan pembangunan.
[13]

Berbeda dengan konsep di atas, maka perencanaan pembangunan dalam tinjauan manajemen pembangunan dipandang sebagai proses meningkatkan efisiensi anggaran untuk pembangunan. Hal ini dapat didalami dari definisi tentang manajemen pembangunan, yaitu suatu tata pola perumusan, pelaksanaan, pengendalian pelaksanaan, pengawasan, evaluasi pasca kebijaksanaan dan program-program pembangunan secara jangka panjang, menengah, dan operasional tahunan.
[14] Dalam berbagai teori manajemen secara umum disepakati bahwa manajemen adalah seperangkat tindakan untuk meningkatkan kemanfaatan sumberdaya yang dimiliki hingga pada titik yang paling tinggi. Untuk mencapai kemanfaatan tertinggi itu maka proses paling awal yang diperlukan oleh penyelenggara negara adalah perencanaan dan penganggaran.[15]

Penelitian ini melihat bahwa dalam konteks pembangunan di Indonesia, berdasarkan konsep administrasi pembangunan maupun manajemen pembangunan di atas, maka pembangunan di Indonesia belum dapat dikatakan sepenuhnya berhasil. Korea dan Indonesia yang berangkat membangun secara sistematis sejak tahun 1960-an, ternyata Indonesia telah tertinggal jauh dari negara itu. Bahkan dibandingkan dengan negara yang baru memulai pembangunannnya pada tahun 1970-an seperti Malaysia dan Singapura pun, ternyata prestasi Indonesia masih kalah. Lebih buruk lagi, Vietnam yang memulai pembangunan pada tahun 1990-an itu kini mulai menggoyahkan prestasi Indonesia. Walhasil, Indonesia pun masih digolongkan ke dalam negara berkembang, meskipun telah sekian lama melaksanakan pembangunan. Nampaknya keberhasilan proses perencanaan pembangunan di Indonesia harus dipertanyakan, sebab hasil perencanaan pembangunan ternyata belum menghasilkan perkembangan yang baik dibandingkan dengan apa yang sudah dicapai oleh negara lain, meskipun mengalami perkembangan positif jika dibandingkan secara internal
[16] (Lihat Tabel 2).

Perencanaan pembangunan di Indonesia didasarkan pada paradigma pembangunan nasional, kebijaksanaan pembangunan, orientasi pembangunan, kewenangan pengelolaan dana pembangunan, mekanisme penyaluran dana pembangunan, mekanisme perencanaan pembangunan, arah kebijaksanaan program pembangunan.
[17] Secara empiris proses perencanaan pembangunan di Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun terakhir sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap Pertama hingga sekarang dapat disimpulkan bahwa paradigma pembangunan nasional bergesekan dan bergeser antara paradigma pertumbuhan dan paradigma pemerataan. Jika paradigma pertumbuhan menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang diukur oleh angka Produk Domestik Bruto (PDB), maka paradigma pemerataan menekankan pada pemerataan kesejahteraan kepada seluruh warga negara yang diukur oleh angka Index Pembangunan Manusia (Human Development Index). Meskipun salah satunya atau bahkan keduanya diterapkan sebagai paradigma perencanaan, ternyata kenyataan menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin yang ditunjukkan oleh Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index) di Indonesia masih tergolong cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain.

Kebijaksanaan pembangunan sering bertumpu pada pembangunan pertanian. Orientasi pembangunan mengarah kepada pemenuhan kebutuhan pokok –yang kemudian dimasukkan sebagai bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan—yang diikuti oleh kewenangan pengelolaan dana pembangunan yang pada awalnya dikelola secara sentralistik oleh Departemen Teknis (Pemerintah Pusat) lalu bergeser menjadi dikelola secara desentralistik oleh Pemerintah Daerah sendiri. Mekanisme penyaluran dana pembangunan pun bergeser dari bantuan khusus yang bersifat sektoral (disebut specific grant) menjadi bantuan langsung yang bersifat umum (disebut block grant). Ketika kewenangan Pemerintah Pusat masih cukup besar maka mekanisme perencanaan pun masih bersifat sentralistik yang dikembangkan dalam bentuk mekanisme top-down planning.

Sejalan dengan tuntutan berbagai pihak pada tahun 1990-an –utamanya dari pihak negara/kelompok donor-- agar kewenangan Pemerintah Daerah diperbesar, maka mekanisme perencanaan pada tahun 1990-an mulai menerapkan perpaduan antara mekanisme top-down dan bottom-up. Sekarang telah murni bottom-up. Pergeseran mekanisme dari top-down menjadi bottom-up ini kemudian mempengaruhi arah kebijaksanaan program pembangunan yang bergeser dari pembangunan sektoral nasional menjadi pembangunan daerah yang diterjemahkan sebagai pembangunan sektoral di daerah-daerah. Dengan demikian perencanaan pembangunan di Indonesia dapat dikatakan telah bergeser mengikuti dinamika yang sedang berkembang pada masanya masing-masing (Lihat Tabel 1). Sayangnya, pergeseran tersebut ternyata tidak diikuti oleh hasil pencapaian dari tujuan perencanaan pembangunan itu sendiri.

Hal berikutnya yang akan dilihat adalah sinergi antara perencanaan pembangunan nasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan perencanaan pembangunan daerah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, yang dalam kajian ini akan difokuskan pada perencanaan pembangunan daerah provinsi. Meskipun sejumlah kebijakan yang bersifat pengaturan telah dibuat untuk mensinergikan perencanaan pembangunan nasional dan perencanaan pembangunan daerah antara lain oleh kebijakan perencanaan yang tertuang dalam sistem Perencanaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa (P3MD) dan sistem Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pemantauan Pembangunan Daerah (P5D) yang dikenal sebagai proses Konsultasi Nasional Pembangunan (Konasbang), dan terakhir oleh kebijakan perencanaan yang tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang dikenal sebagai proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). “Sistem Konasbang” dibidani dan diselenggarakan bersama oleh Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada tahun 1996, dan disempurnakan menjadi “sistem Rapat Koordinasi Pembangunan Nasional (Rakorbangnas)” pada tahun 2000. Sistem ini kemudian disempurnakan lagi menjadi “sistem Musrenbang” yang kembali dibidani dan diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada tahun 2003. Meskipun sistem Musrenbang telah dikembangkan lebih baik daripada sistem Konasbang maupun Rakorbangnas, namun beberapa pihak masih menilai bahwa kedua sistem perencanaan pembangunan yang mencoba menerpadukan perencanaan pembangunan nasional dan perencanaan pembangunan daerah itu sebagai serimonial belaka. Hal ini tercermin dari angket yang pernah disebarkan kepada para peserta Musrenbang yang berasal dari unsur pemerintah daerah maupun departemen teknis.
[18]

Lebih jauh, hasil perencanaan pembangunan daerah pun ternyata masih belum mampu mencapai tujuan perencanaan pembangunan daerah itu sendiri, yaitu mewujudkan kemakmuran bagi warga negara Indonesia yang berdomisili di daerah (selanjutnya disebut “masyarakat daerah”). Kekurangberhasilan pemerintahan daerah
[19] menciptakan kemakmuran bagi masyarakat daerah adalah kegagalan melaksanakan program pembangunan. Kegagalan pelaksanaan program pembangunan itu merupakan muara dari dari ketidakberhasilan pemerintahan daerah menyelenggarakan perencanaan pembangunan daerah bagi daerah mereka sendiri. Ironisnya, meskipun UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah memberikan kewenangan kepada pemerintahan daerah untuk merencanakan sendiri daerah mereka, dan Pemerintah Pusat telah melimpahkan pula kewenangan untuk mengelola sumberdana dana pembangunan daerah (kewenangan fungsi pengelolaan keuangan daerah) ternyata kewenangan tersebut tidak berhasil dijalankan secara nyata.

Demikianlah secara konseptual, kita dapat menemukenali problematika perencanaan pembangunan di Indonesia berdasarkan 14 sudut pandang yang berbeda, yaitu:
(1) Pemahaman tentang teori perencanaan pembangunan.
(2) Pemahaman tentang cakupan wilayah perencanaan.
(3) Pemahaman tentang bidang sektoral perencanaan.
(4) Pemahaman tentang substansi dan ukuran perencanaan.
(5) Pemahaman tentang sumber/bentuk pembiayaan perencanaan.
(6) Pemahaman tentang penyelenggara perencanaan.
(7) Pemahaman tentang bentuk rencana pembangunan.
(8) Pemahaman tentang rencana pelaksanaan/implementasi perencanaan pembangunan.
(9) Pemahaman tentang instrumen perencanaan.
(10) Pemahaman tentang pengambilan keputusan strategis.
(11) Pemahaman tentang alur perencanaan.
(12) Pemahaman tentang pemantauan dan pengendalian.
(13) Pemahaman tentang evaluasi hasil perencanaan.
(14) Pemahaman tentang pengawasan pembangunan.

Sumber: Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho D. (2006): Manajemen Pembangunan Indonesia. Jakarta (Gramedia/Elexmedia Komputindo).